Langsung ke konten utama

Kontemplasi, Kepedulian, dan Kemapanan dalam Syair Tanah Lahir

Tulisan ini membahas buku puisi Syair Tanah Lahir karya Rudy Ramdani


Perenungan, kepedulian, dan kemapanan. 
Tiga hal yang menurut saya berkesinambungan. Akibat perenungan (kontemplasi) kita akhirnya dapat menghasilkan suatu sikap, dalam hal ini kepedulianlah yang muncul. Rasa peduli itu kemudian merambah pada kemampuan seseorang menciptakan hasta karya, sebagai salah satu ungkapan ekspresi dari seseorang. Tidak mungkin dalam menciptakan sebuah karya itu tidak memikirkan proses dan hal teknis sebagai bentuk. Di sanalah, akibat kemapanan si penyair yang tak hanya mapan dalam linguis tetapi lebih penting pada proses pemaknaan aktualisasi kehidupan, akhirnya karya sastra pun diciptakan.  
Tiap karya sastra yang lahir, ketika karya tersebut memiliki keunggulan kualitas estetik dan memiliki potensi sebagai sumber inspirasi yang mencerahkan pembacanya, sangat penting untun diapresiasi oleh masyarakat. Menurut Hasanuddin W.S. dkk., apresiasi sastra adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Maka, inilah saatnya kita mengapresiasi satu lagi karya sastra berupa kumpulan puisi Rudy Ramdani dengan cara yang sederhana dan ‘mesra’. Tentu dengan sebaik mungkin.
Sebenarnya cukup sulit untuk membahas sebuah buku kumpulan puisi. Selain karena banyak puisi, ketidakseragaman tema dan gaya sesekali menjadi hambatan tersendiri dalam membuat sebuah bahasan –saya tidak menyebut ini kritik sebab nampak terlalu berat. Sulit rasanya untuk membuat pembahasan yang representatif (mewakili) dan komprehensif (menyeluruh).
Sebuah kritik yang ditulis Langgeng Prima menyebutkan bahwa ada dua tujuan mengapa puisi diantologikan, yang pertama untuk mengenalkan sebuah tema dan gaya dalam pusi. Misalnya, pada antologi Catatan Orang Kampung (2012) karya Tawakal M. Iqbal dan Hikayat Pemanen Kentang (2011) karya Mugya Syahreza Santosa yang mengusung lokalitas pada puisi-puisinya. Lalu ada Hanna Fransisca dengan Konde Penyair Han (2010) yang mengabadikan nilai keadilan etnis Tiong Hoa dan tradisinya, atau yang terlihat dalam kumpulan puisi O Amuk Kapak (1981) karya Sutardji Calzoum Bachri yang menonjolkan gaya baru dalam tradisi puisi Indonesia, atau buku Museum Penghancur Dokumen (2013) Afrizal Malna yang mengusung gaya pengisahan khas penyairnya. Maka, dengan mudah dapat ditarik kecenderungan puisi-puisi tersebut menjadi sebuah antologi.
Tujuan kedua disusunnya antologi puisi ialah untuk mendokumentasikan karya seseorang. Pada tujuan ini kadang-kadang sulit untuk menemukan kecenderungan tema dan gaya seorang penyair karena, biasanya puisi-puisi dalam kumpulan ini memuat puisi dalam proses kreatif yang panjang. Dari proses kreatif penciptaan karya inilah terlihat bagaimana perkembangan bentuk estetika dari seorang penyair. Lantas ternyata di wilayah inilah Syair Tanah Lahir karya Rudy Ramdani ditempatkan.
Selanjutnya saya mencatat ada tiga hal utama yang terdapat pada antologi puisi ini, yaitu, menyoal “kontemplasi”, “kepedulian dalam tema”, dan kemapanan stilistika. Tiga hal di atas agaknya bisa dibilang hal yang signifikan dalam antologi puisi ini.
STL (singkat saya menyebutnya) terkandung 63 puisi yang ditulis sejak 2000-an dan terbagi dalam tiga bagian, yaitu Syair, Tanah, dan Lahir. Judul-judul bagian tersebut sangat merepresentasikan isi tiap bagian. Ketiga judul tersebut diilhami dari gagasan setiap judul puisi. Seperti pada bagian Tanah,
alur dan tema yang diangkat ialah sekitar bagaimana kisah di kampung halaman, kritik sosial, sampai sesuatu yang dianggap tradisional dan khas masyarakat di pedesaan.
Ketiga bagian tersebut bisa jadi menggambarkan proses kreatif yang panjang. Proses kreatif yang panjang ini bukan berarti seberapa lama seorang penyair menulis puisi tetapi lebih sejauh mana kepada perkembangan yang estetika penyairnya. Terlihat juga beberapa puisi ditulis pada 2002 (dilihat dari titimangsa), proses kreatif penyair dalam antologi ini terlihat begitu panjang dan intens. Hal tersebut dilihat dari perkembangan estetika puisi pada tiap bagiannya, tema-tema yang diusung penyairnya, dan gaya ungkap penceritaan penyair.
Menilik “Puisi Lokal”
Beberapa tahun terakhir, banyak puisi yang mengangkat persoalan urban. Puisi-puisi itu disebut sebagai “puisi urban”. Seperti halnya seni-seni urban lainnya, puisi urban banyak menyoal kehidupan di perkotaan. Persoalan-persoalan di perkotaan terfokus pada konsumerisme, gaya hidup, eksistensi gender, hedonisme, market, kapitalisme, perubahan sosial, kaum miskin kota, polusi, hingga tata ruang kota yang berantakan.
“Puisi Urban” melawan simbol-simbol yang terdapat di kota seperti yang disebut di atas. Maksudnya, “puisi urban” tidak secara langsung melawan subjek dari simbol di kota. Contoh konkretnya, “puisi urban” tidak melawan suatu perusahaan atau pelaku kapitalis melainkan lebih kepada sistem kapitalis itu sendiri. Sehingga perlawanan dalam “puisi urban” sifatnya lebih semu.
Berbeda halnya dengan puisi yang terfokus pada problematika di kampung atau yang saya sebut sebagai “puisi lokal”. “Puisi lokal” banyak menyoal problematika orang dan kampung halaman, kampung halaman dan keindahan alam, kepedulian pada kampung dan kelahiran manusia serta puisi itu sendiri. Misalnya rindu laut, ikan, burung, sangkuriang, sungai, rumput, sampan, rawang, lalang, dll. Paling jauh, “puisi lokal” menyoal perubahan yang terjadi di wilayah geografis wilayah itu sendiri.
Perbedaan antara “puisi urban” dan “puisi lokal” sendiri terdapat pada persoalan yang diangkat. “Puisi lokal” Rudy Ramdani ini memunculkan segala hal yang ada di kampung seperti bagaimana seorang perantau yang memang pada akhirnya pulang ke kampung halaman, begitu panjang perjalanan dan pencarian hingga pada akhirnya ia pun menemukan siapa dirinya sebenarnya,
Kukunjungi Aku di Kota Ini Ketika Hujan
hijau bertemu daunnya
air dilanda basah
angka telah menikahi usia
aku pulang, sayang
menggelar fajar
mengadu rindu
mengaku-aku
2007

Puisi-puisi pada bagian pertama dan kedua terlihat begitu cair dan cerdas. Tema-tema puisi pada bagian pertama dan kedua banyak membahas persoalan cinta secara universal yang terkadang artikulasi dan pemaknaannya personal tetapi lumrah. Sehingga meskipun didominasi oleh “aku lirik” puisinya dapat dinikmati oleh pembacanya. Puncak estetika dalam antologi ini terdapat pada makna yang mendalam tentang segala peristiwa kehidupan yang dapat kita ilhami.
Bagian ketiga, bagian yang merupakan akhir dari proses penciptaan. Artinya bagaimana manusia itu -diibaratkan oleh penyair sebuah syair, kemudian di tanahlah kita dilahirkan dan menemu kematian.
SAJAK NISAN

penyair dan kematian?

nyawa sajak tak pernah bosan menyimpan pesan
bagaimana pun, belaian jari kematian di kening penyair
selalu tiba sebagai perjamuan kata menjelma doa
di sela jarak sajak Izroil

bukan, bukan tidur atau kubur
jarak ajal dan bibir penyair meniup huruf,
tapi ziarah sajak bersama lautan menuju hujan
tawaf puisi bersama bumi pada matahari

keniscayaan kenangan
selalu tiba sejenak di nisan jejak sajak
dan tabur kembang di atas ranjang
semata-mata leburan wewangian
tepat di persetubuhan embun dan daun-daun

penyair, rasa rindu selalu saja pulang menyisakan bayang           (RR, 2003)

Persinggungan subjek dengan kampung lebih terasa nyata pada puisi berikut,

RINDU KAMPUNG

lalu kumulai lagi mencamkan lenguh angin di kisaran
daun-daun di batang rambutku
mencari hari di belukar kendaraan, langkah-langkah di padang aspal, raung mesin dan klakson,
kabut dari cerobong-cerobong dan knalpot
di pelosok perkampungan jiwaku yang semakin kota
pada matamu, Nyai

aku rindu pematang sawah di biru urat dadamu
tentang kicau burung liar
dan ratusan serangga di ladang punggung kita

2003

Bagaimana seorang anak manusia yang sudah jengah dengan situasi dan hiruk-pikuk perkotaan. Ia rindu pada keelokan alam khas kampung halaman. Perekaman peristiwa-peristiwa ini telah berhasil dikemas dengan gaya metaforis dan liris juga harmonis. Sehingga pembaca nampak larut dalam penceritaannya. Sama halnya dengan yang terjadi apda puisi ini,

            demi silsilah air di sepanjang genang mata kita
izinkan kusunting dadamu untuk kutata dengan sahaja

telah bertanggalan tanggal, waktu laju, tak pernah tinggal
jangan katakan usia perpisahan kita melebihi
tahun-tahun kesetiaanku pada pintu, pada genting,
dan dinding rumah yang telah berganti warna itu

kuakui, telah beberapa kali ini
            sempat juga tubuhku nikah-cerai dengan alamat
            tapi kekasih adalah kekasih
            tempat lambung halaman mencerna tali pusar...” (RR, 2007)

Puisi di atas berjudul “Surat Cinta untuk Purwakarta”. Puisi menggambarkan bahwa memang tanah lahirlah yang menjadi tujuan terakhir ke mana pun kita berkelana. Atau menggambarkan dan mengisahkan perubahan yang terjadi di kampungnya, terlebih keadaan rumah yang mungkin telah berganti. Sajak ini begitu saja mengalir tanpa ada benturan-benturan dengan dongeng atau legenda yang sering digunakan sebagai perumpamaan atau perbandingan. Hingga terkadang sajak terasa begitu flat bila karena itu. Ditambah lagi tidak banyaknya majas yang bertumpuk pada puisi ini. Sempurna!

Pesona Puisi Pendek

Puisi-puisi pendek Syair Tanah Lahir terasa begitu ketat. Pola gramatikal pada puisi-puisi pendek dalam antologi ini begitu efektif, termasuk diksi. Sesuatu yang paling penting dari puisi pendek ialah kesampaiannya makna. Makna pada puisi pendek justru lebih mudah ditangkap. Ini karena efektivitas kalimat. Manun, bukan berarti puisi pendek memiliki makna yang dangkal, justru puisi yang pendek dapat melahirkan banyak tafsir atau banyak makna. Tak kalah penting adalah puisi pendek selalu melahirkan suspend (penutup yang menggantung) yang biasanya ada pada larik terakhir sebuah puisi pendek untuk tujuan satire atau ironi. Perhatikan,

BATU
//batu tak pernah cegah/buat dipahat/tak pernah takut/direbut lumut/batu tak bisa tak bisu// (RR, 2004) 

Selain itu, puisi pendek RR juga padat amanat,

PATRIOT
//kami selalu di sini/seperti akar pohon mencengkram/daging tanah/menderas dalam pembuluh darah/bumi/menjadi humus bagi benih mimpi/sebagai ruh yang merdeka//
(RR, 2010)

Kepadatan dan ternyata dibarengi juga oleh makna yang agung. Rudy Ramdani telah berhasil mengantarkan, mengenalkan puisi yang penuh dengan nilai pendidikan, nilai perjuangan, dan nilai kemanusiaan. Terakhir, saya pilih sajak ini sebagai sajak yang sungguh-sungguh membawa kita pada titik kesadaran seorang hamba yang tak akan mampu menjadi dan berbuat apa-apa tanpa Dia.

AMSAL PENYAIR
pencarian ini tak akan pernah usai
hingga saatnya nanti kutemukan makna cinta

perjalanan ini tak akan pernah sampai
hingga waktunya nanti kudapati arti pulang

Tuhan
bimbinglah langkahku
jagalah jiwaku
terimalah hadirku
sambutlah pulangku                            (RR, 2007)

Bahasa puisi metaforis. Namun, bahasa bukan sastra juga boleh metaforis (Damono, 2012:143). Bahasa puisi boleh saja tidak metaforis, tetapi yang lugas dalam puisi selalu merupakan siratan, bukan suratan. Yang suratan, apa pun alasannya, bukan puisi. Dan dengan demikian jelas bahwa alasan utama penggunaan metafor dalam puisi adalah mendorong yang tersirat sampai sudut yang tentu tidak akan ada ujungnya. Sapardi melanjutkan, penyair yang baik, dengan demikian adalah yang mampu menyusun metafor sedemikian rupa sehingga ujung sudut itu semakin runcing –yang menjelaskan penghayatan dengan piranti ambiguitas. Hakikat puisi adalah ‘bilang begini maksudnya begitu,’ terasa tertangkap tetapi senantiasa terlepas. Itulah antara lain yang dicapai oleh Rudy Ramdani ketika ia menuliskan bait demi bait 63 puisinya.
Mari kita genapkan kemolekan Syair Tanah Lahir dengan berdiskusi! [] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hayati Lelah, Bang!

[Pikiran Rakyat, 10 April 2016] Seorang bijak pernah mengatakan, “satu hal yang mutlak berubah di bumi ini adalah perubahan itu sendiri”. Tak ketinggalan, perubahan ke arah yang lebih dinamis dibumbui fenomena roman terjadi pada publik kekinian -mayoritas netizen. Perubahan itu dapat dicurigai merupakan pengaruh dari sikap pribadi yang kemudian menular pada sikap kolektif. Misalnya saja satu orang yang sedang dirundung gelisah, saat ia bercerita kepada satu orang lainnya dan lebih banyak orang, maka bisa jadi kegelisahan itu dikuatkan oleh orang di sekelilingnya yang juga merasakan. Perasaan kemudian diimbangin oleh pikiran. Rasa dan pikir, hakikat dasar sumber munculnya tanggapan dari manusia. Tanggapan yang merupakan kesan yang dialami jika perangsang sudah tidak ada. Tanggapan juga berarti bayangan atau kesan yang tertinggal di dalam diri seseorang setelah kita melakukan pengamatan terhadap suatu objek (Emzir dan Saifur: 2015: 166). Adapun tanggapan memiliki dua fungsi:...

Sahabat, Karib, Teman (Politik?)

Pikiran Rakyat, 6 November 2016 Awal bulan lalu, saya bersama seorang sahabat mengunjungi studio televisi swasta di Jakarta. Kami ke sana untuk menyaksikan secara langsung tayangan temu wicara (talkshow) politik bertajuk #MerayuJakarta. Tajuk berseri yang menyajikan adu pendapat dari para wakil relawan pemenangan tiga calon gubernur DKI Jakarta. Awalnya tidak ada yang aneh pada malam itu. Namun, semakin acara beranjak riuh oleh hadirin dan temu wicara semakin panas, saya berpikir tentang sesuatu yang menurut saya menarik untuk dibawa ke permukaan. Pada mulanya, saya meraba-raba rasa dan makna tiga kata kunci yang muncul pada forum itu. Kata kunci yang menjelma idiom baru tersebut disematkan oleh masing-masing relawan tim sukses;  Sahabat Anies, Teman Ahok, dan Karib Agus.  Perbedaan yang samar-samar itulah, yang membuat pemilihan kepala daerah khusus ibukota menjadi semakin menarik dan seksi. Dalam hiruk-pikuk perkembangan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, kit...