bersama kasepuhan Seni Silat Cimande, Abah Ali dan istri |
Belum terlalu lama saya sempat menjenguk keadaan sebuah kampung kecil bernama Cibata. Kampung yang tak jauh dari tempat tinggal saya di Desa Barengkok-Bogor bagian barat pulau Jawa Barat. Kampung yang dipenuhi lahan hijau persawahan, ladang, dan kolam ikan sebagai tempat pemancaingan atau penangkaran. Cibata tak hanya menyimpan keindahan lanskap sejauh mata memandang saja. Di balik eloknya permukaan ia simpan berjuta nilai luhur di mana kehidupan menemukan hakikat keberanian.
Sebelum lebih banyak kita bercerita, sedikit bolehlah kita menengok pertanyaan, untuk apa sesungguhnya kita memelihara budaya dan tradisi bangsa? Mungkin juga ini menjadi salah satu jawaban bahwa tidak lain karena kita ingin selalu belajar menjadi manusia (manusia dengan “M” besar) . Dengan memelihara budaya dan tradisi kita akan berjumpa dengan beragam karakter manusia, jenis-jenis pola pikir, seluk-beluk kepercayaan, dan cara pandang beragam manusia terhadap peristiwa di sekitarnya. Nampaknya, kita juga dapat menjumpai “manusia” di sini.
Bapak tua yang saya temui di rumahnya, Pak Ali (82) dengan antusias menceritakan sejarah dan apa saja yang dilakukan di perguruan seni silat Cimande. Ya, Cimande. Begitulah aliran ini disebut. Namanya cukup tersohor di Jawa Barat. Bahkan, aliran ini menjadi salah satu acuan terpenting bagi perguruan-perguruan pencak silat, terutama pencak silat gaya Pasundan. Secara garis besar, Cimande memiliki 33 jurus dengan basis gerakan pertahanan diri dari pelbagai serangan.
Pada hakikatnya, Cimande adalah jenis silat yang mengandalkan tangan kosong untuk membela diri. Silakan digarisbawahi, “membela diri”. Kata itu selalu diulang oleh Pak Ali sebab bukan untuk menyerang lawan, melainkan membela diri. Dalam arti, gerakan-gerakan yang dilakukan seorang pendekar menjadi gerakan yang mengeksploitasi anggota tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan. Bahwa ada juga jurus atau gerakan yang menggunakan tongkat, itu lebih dimaksudkan sebagai simbol pengakuan: tubuh manusia, khususnya kedua tangan tetap saja memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Selain membentuk kekuatan fisik,
silat Cimande juga membentuk kekuatan batin dengan meningkatkan rasa kepercayaan diri dan menimbulkan kerendahan hati.
Sebenarnya, makna yang terkandung dalam ilmu silat Cimande adalah penjabaran dari sebuah filosofi yang menuturkan bahwa di atas langit masih ada lagi langit lain yang lebih tinggi. Di atas puncak gunung, ada puncak gunung yang lebih tinggi. Sehebat apapun manusia, pasti ada manusia lain yang lebih hebat dan kuat. Dengan dasar filosofi itulah ajaran silat Cimande menuntun seseorang menjauhkan diri dari sifat kesombongan.
Pada mulanya adalah Abah Kahir. Dialah yang pertama kali menciptakan aliran Cimande. Lelaki yang hidup sekitar abad 17 dan tinggal di tepian sungai Cimande, Bogor, Jabar ini, menurut cerita, menciptakan jurus berdasarkan gerakan seekor monyet dan harimau. Abah Kahir tak hanya memakai ilmu beladiri untuk diri sendiri. Tapi, ia juga mengangkat murid, sehingga ilmu ini semakin menyebar ke berbagai kalangan. Pak Ali merupakan keturunan ke sekian. Di usianya yang tak lagi segar, ia tetap menjaga nilai-nilai luhur seni silat Cimande tersebut. Seni silat yang menyuguhkan perpaduan antara jurus-jurus bela diri dengan instrumen musik daerah.
Pak Ali dan kelompoknya juga memanfaatkan Cimande sebagai sarana pewarisan budaya. Dibantu anak, saudara, dan sahabat-sahabatnya, ia dengan tekun dan sabar berusaha memberi pemahaman kepada anak-anak tentang makna filosofis silat Cimande. Tak sekadar makna gerakan bela diri, tapi lebih jauh dari itu, ia ingin memberi pemahaman tentang makna disiplin, watak ksatria, serta moral, kendati gerak silat yang dikeluarkan terlihat gemulai bak penari.
Pada dasarnya, dalam kesenian permainan tradisional dan seni silat pertahanan diri dengan berbagai jurus di atas, anak-anak bangsa diajak langsung berpraktik merasakan peristiwa kehidupan, berdiskusi dengan alam, kawan dan dirinya sendiri, membuat aksara-aksara yang penuh makna, hingga melakukan pengkajian. Dengan demikian peran para pembimbing, orang tua, instruktur senantiasa menjadi teman sharing. Berbagi ilmu dengan tulus dalam ruang yang lebih terbuka dan bebas.
Wacana globalisasi tidak serta merta menjadi musuh kearifan lokal. Apa yang disebut globalisasi hanyalah penetrasi gerakan kultur lokal bangsa Indonesia yang kuat dari negara-negara adidaya yang sepenuhnya menyadari kekuatan lokalitas mereka. Jika ada teori “berpikir global, bertindak lokal”, sesungguhnya yang dilakukan negara besar adidaya adalah “berpikir lokal untuk negaranya sendiri, bertindak global untuk melakukan ekspansi ke begara lain”. Barangkali itu sedikit cara yang bisa kita tiru dalam menyebarluaskan budaya asli Indonesia ke kancar internasional.
Secara umum kondisi kebudayaan tradisi rakyat di zaman modern ini tidak sekokoh di zaman dulu ketika ikatan masyarakat tradisi/desa masih kuat. Ibaratnya sekarang kesenian tradisi itu berada dalam fase “hidup segan mati tak mau”. Sudah tentu upaya “penyelamatan” seni tradisi seperti permainan tradisional dan seni pencak silat di atas patut dilakukan, tetapi bukan sekadar penyelamatan tanpa upaya serius untuk mendudukkan seni dan budaya tradisi di tengah perubahan dan perkembangan zaman. Pada tiitk ini upaya “pelestarian” seni dan budaya tradisi bukan sekadar upaya memuji atau memeliharanya sebagai “benda pusaka” yang tak boleh diubah, melainkan justru diperlukan upaya kreatif agar seni dan budaya tradisi mampu merespons kekinian, setidaknya seni dan budaya tradisi khas bangsa Indonesia menjadi indspirasi penciptaan karya di masa kini.
Demikianlah, kesenian dan kebudayaan tradisi lahir di masa lampau, tetapi hingga kini terus bertahan hidup melalui pewarisan lisan kepada generasi berikutnya meski kian hari pendukungnya kian menipis. Kiranya dalam konteks inilah perlu timbul kesadaran akan masalah terbesar kesenian dan kebudayaan tradisi adalah keberterimaan kenyataan bahwa ia hidup di tengah budaya yang tak lagi menaunginya. Kesenian dan kebudayaan tradisi suka tak suka hidup di dua alam: di satu sisi ia mempertahankan tradisi leluhur, di sisi lain berhadapan dengan realitas kekinian yang tidak sekosmologis dengan dirinya. Ia memang masih dapat disebut dan menyandang gelar kesenian dan budaya tradisi, tetapi masyarakat yang menikmatinya sudah tak lagi hidup dalam kosmologi budaya kesenian tersebut. Namun, ini menelurkan manusia modern yang sedang melakukan kontak budaya yang merupakan kreativitas leluhur masa lampau.
Jadi, untuk apa kita memelihara dan mencintai lalu memperkenalkan kepada dunia tentang budaya asli bangsa kita? Tidak lain tidak bukan memang untuk menjumpai manusia (manusia dengan “M” besar) dengan beragam karakter dan berbagai persoalannya. Memelihara dan menghidupkan kembali budaya bangsa pada dasarnya memang untuk merespons persoalan, nasib, kesakitan, kegembiraan, kelucuan, keriangan, kepalsuan, sekaligus keculasan manusia![]
Komentar
Posting Komentar