Langsung ke konten utama

Kampoeng Literasi

kepada Bogor



Belakangan ini, pembicaraan mengenai budaya membaca dan menulis sering muncul di berbagai forum yang berkaitan dengan kondisi masyarakat yang masih berpijak pada oral tradition. Di samping itu, ada data yang menyebutkan kondisi sejumlah perpustakaan yang ada di wilayah Jawa Barat cukup memprihatinkan. Selain kekurangan pustakawan yang menguasai ilmu tentang perpustakaan, ratusan perpustakaan yang ada di Jawa Barat misalnya, juga sepi pengunjung karena minat baca masyarakat yang rendah. Sebagian besar kondisi ini disebabkan kurangnya tenaga ahli di bidang perpustakaan yang dipekerjakan di setiap perpustakaan. Akibatnya, para penjaga perpustakaan pun tidak bisa mengolah buku dengan baik.
Kondisi perpustakaan yang tidak terawat dan tidak lagi mengikuti perkembangan zaman dapat menjadi salah satu faktor utama mengapa masyarakat kurang gandrung dalam kegiatan membaca. Padahal pasokan buku-buku setiap tahun semakin meningkat. Namun jumlah banyaknya buku ternyata tidak menjamin budaya membaca dan menulis di kalangan masyarakat.
Selanjutnya, sebagai alternatif dari permasalahan di atas. Banyak yang menggagas budaya literasi lahir dan tumbuh di komunitas kampung halaman. Anggapan sekelompok orang bahwa kampus di daerah tidak melahirkan atau menumbuhkan budaya literasi bisa jadi adalah benar. Akan tetapi anggapan itu tidak harus serta merta melahirkan kesimpulan bahwa budaya literasi telah lahir dan tumbuh di luar kampus. Bahwa realitanya di komunitas dan kampus sama-sama menyupayakan kegiatan untuk menumbuhkan budaya literasi. Hanya saja, tingkat kemampuan untuk mengukur atau mengidentifikasi bahwa di satu tempat telah lahir dan tumbuh budaya literasi jelas berbeda.

Tulisan ini akan mencoba membahas sebuah kepedulian terhadap kampung halaman sebagai kekuatan lokal untuk membudayakan literasi.

Lalu nantinya ini akan membawa masyarakat ke titik terang kehidupan yang lebih berkarakter. Tidak bisa tidak, kiprah baca dan tulis begitu besar. Ia dapat mengajak kita mempelajari hakikat manusia. Kita dapat menemukan beragam karakter manusia, jenis-jenis peristiwa, seluk-beluk psikologis, latar belakang sosiologis, mengenali potensi diri, dan cara pandang beragam manusia terhadap persoalan di sekitarnya.
Aspek kultural sebuah kampung adalah khazanah (budaya) lokal, dalam hal ini keberadaan saya di Leuwiliang –sebuah daerah di bagian barat Kabupaten Bogor. Sejauh ini, banyak yang membumikan khazanah lokal sebagai loncatan dalam memberdayakan masyarakat. Saya pun sangat mengimani upaya alternatif tersebut. Sebab khazanah lokal bisa menjadi landasan sikap dan tindakan yang berkarakter dalam meresponss atau menanggulangi percepatan pergerakan dunia yang sudah serba instan, penuh intrik, dan menganut globalisasi kapitalis.
Wan Anwar memaparkan pengertian secara khusus mengenai budaya literasi. Menurutnya budaya literasi adalah suatu keadaan di mana orang-orang berdiri tegak sebagai pribadi, berpikir logis-kritis, objektif, menjaga jarak terhadap suatu persoalan, dan jujur meresponss masalah di sekitarnya.
Sejurus dengan Wan, hal itu menjadikan sikap, pikiran, dan tindakan seseorang yang masih berpijak pada keguyuban dan bersandar pada sikap, pikiran, dan tindakan umum bukanlah ciri orang yang memiliki budaya tradisi. Sosok pribadi dalam hal ini jangan dihakimi sebagai orang yang tidak bersolidaritas, sama halnya kolektivitas yang jangan pula mengabaikan hakikat pribadi.
Budaya literasi senyatanya tumbuh bertahap. Upaya pemerintah dan masyarakat melakukan pemberantasan buta huruf di banyak tempat atau upaya guru di TK dan SD mengenalkan huruf (membaca) dan angka (berhitung) adalah peristiwa memasuki literasi tahap awal. Masyarakat lokal yang sudah melek aksara saya kira sudah lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang niraksara. Namun di sinilah agaknya kita bisa sepakat: melek aksara tidak dengan sendirinya menunjukkan budaya literasi sesungguhnya.
Kegiatan belajar membaca dan menulis di SMP dan SMA –bahkan di perguruan tinggi-, sanggar-sanggar, komunitas-komunitas, entah melalui acara baca puisi, bedah buku, diskusi, dan sejenisnya, merupakan lanjutan dari tahap awal melek aksara. Pada tahap lanjutan inimasih tampak kuasi-literasi (literasi semu) sehingga tak jarang terjadi mengekor pada pendapat orang lain, tak ingin dikalahkan, teguh pada argumen sendiri yang padahal argumen tersebut “biasa” saja, dan terlalu normatif dalam menjalankan roda program literasi. Namun proses ini kita maklumi sebagai salah satu warna perjalanan menuju kematangan berliterasi yang pada ujungnya (semoga) tertanam sikap kritis, jujur, demokratis, dan kreatif.
Di manakah posisi budaya literasi masyarakat lokal Leuwiliang/Bogor? Keberadaan kampus-kampus di wilayah Bogor terutama Bogor barat tidak cukup ampuh untuk memberantas kemalasan membaca dan menulis. Padahal di lingkungan kampus, budaya literasi sangat terjaga dan selalu berlangsung secara intensif. Misal, menulis skripsi, tugas, berdiskusi, membaca di perpustakaan.
Kultur lokal yang masih “suci” dan “keras” atau istilah Sunda kukurung ku batok (tidak mau pergi dari kampung halaman) dapat dijadikan peluang untuk membangun budaya bersastra dan berliterasi sesuai karakteristik masyarakat tersebut. Mengapa harus berjuang menggunakan senapan bernama “budaya literasi”?
Berliterasi adalah ruang terluas dan terbuka untuk pembelajaran demokrasi, menerima berbagai pandangan karena bermacam suara hadir di dalamnya. Bahasa lisan dan tulis mengajak pembaca (dalam hal ini masyarakat lokal) untuk aktif membuka berbagai kemungkinan yang terjadi, sekaligus menghargai berbagai pendapat dan pandangan yang berkembang di masyarakat.
Akhir-akhir ini saya merasakan, juga menurut beberapa temuan salah satunya data dari Kepala Balai Bahasa Bandung, Abdul Khak. Ia menuturkan, tradisi menulis di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tradisi membaca, terlebih di kalangan anak muda. Rendahnya tradisi menulis ini akibat rendahnya minat membaca. Kedua kegiatan ini saling memengaruhi. Membaca itu referensi untuk menulis. Bagaimana bisa seseorang menulis jika tidak suka membaca? Faktor lain yang memengaruhi juga terletak dari proses kegiatannya. Membaca termasuk kegiatan yang pasif dan bisa dilakukan di mana saja. Berbeda dengan menulis yang termasuk kegiatan aktif.
Peristiwa lainnya yang terjadi saat ini adalah para dosen di sejumlah perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri yang mengeluhkan kualitas tulisan mahasiswa. Lagi-lagi, mustahil seseorang bisa menulis kalau yang bersangkutan tidak suka membaca karena kedua kegiatan saling beriringan. Kecenderungan tersebut sudah dapat diidentifikasi dari jumlah pengunjung perpustakaan perharinya dan frekuensi kunjungan.
Fenomena di atas dapat semakin memperjelas, katakanlah di kampus belum tumbuh budaya literasi. Sebaliknya di luar kampus lahir dan tumbuh budaya literasi dengan bukti: tulisan-tulisan di koran dan majalah, makalah dalam diskusi, dan buku-buku yang diterbitkan. Mereka lulusan yang bekerja di lembaga luar kampus, bahkan aktif dan mampu membangun komunitas-komunitas di kampung. Benarkah budaya literasi telah lahir, tumbuh bagai bunga seribu warna?
Budaya literasi bukan sekadar membaca dan menulis lalu diterbitkan, apalagi jika hanya melek aksara. Tetapi juga proses nilai-nilai literasi yang kritis, jujur, demokrasi, dan arif itulah modal utama untuk membangun budaya literasi sendiri. Budaya literasi menjadi “obat” untuk menyembuhkan berbagai luka dan penyakit di masyarakat.
Peran Perpustakaan Daerah tak kalah penting. Tinggal gerakan yang masif harus disegerakan. Kerja sama trigatra yang mesti dikuatkan adalah pertama, peran para aktivis atau praktisi (ahli), kedua peran pemerintah, dan yang ketiga peran pengusaha. Perbedaan cara dan kapasitas kampus dan luar kampus pun bukan hal yang salah. Hanya fungsi setiap lembaga perlu kembali ditempatkan di frame yang seharusnya. Kampus bukan hanya tempat nongkrong, dan komunitas jangan hanya menjadi orang-orang yang patron terhadap para pendahulunya. Kreativitas dan zaman kian berubah maju, Dengan terjalinnya hubungan ketiga elemen tersebut, maka keluhan-keluhan para penggiat di komunitas seperti kekurangan sarana dan prasarana dapat diatasi dengan cepat dan tepat.
Demikian sejumlah masalah dan harapan yang terkait dengan upaya menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis yang lahir di kampung atau desa. Tanpa itu, perencanaan hanya berhenti sampai perencanaan tanpa pelaksanaan. Dan itu tentu sangat tidak kita harapkan. Bagaimanapun sulit dan lamanya menggiring kesadaran masyarakat menuju titik terang membaca dan menulis sesuai dengan yang mereka sukai, yakinlah membangun literasi adalah keniscayaan peradaban.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hayati Lelah, Bang!

[Pikiran Rakyat, 10 April 2016] Seorang bijak pernah mengatakan, “satu hal yang mutlak berubah di bumi ini adalah perubahan itu sendiri”. Tak ketinggalan, perubahan ke arah yang lebih dinamis dibumbui fenomena roman terjadi pada publik kekinian -mayoritas netizen. Perubahan itu dapat dicurigai merupakan pengaruh dari sikap pribadi yang kemudian menular pada sikap kolektif. Misalnya saja satu orang yang sedang dirundung gelisah, saat ia bercerita kepada satu orang lainnya dan lebih banyak orang, maka bisa jadi kegelisahan itu dikuatkan oleh orang di sekelilingnya yang juga merasakan. Perasaan kemudian diimbangin oleh pikiran. Rasa dan pikir, hakikat dasar sumber munculnya tanggapan dari manusia. Tanggapan yang merupakan kesan yang dialami jika perangsang sudah tidak ada. Tanggapan juga berarti bayangan atau kesan yang tertinggal di dalam diri seseorang setelah kita melakukan pengamatan terhadap suatu objek (Emzir dan Saifur: 2015: 166). Adapun tanggapan memiliki dua fungsi:...

Kontemplasi, Kepedulian, dan Kemapanan dalam Syair Tanah Lahir

Tulisan ini membahas buku puisi Syair Tanah Lahir karya Rudy Ramdani Perenungan, kepedulian, dan kemapanan.  Tiga hal yang menurut saya berkesinambungan. Akibat perenungan (kontemplasi) kita akhirnya dapat menghasilkan suatu sikap, dalam hal ini kepedulianlah yang muncul. Rasa peduli itu kemudian merambah pada kemampuan seseorang menciptakan hasta karya, sebagai salah satu ungkapan ekspresi dari seseorang. Tidak mungkin dalam menciptakan sebuah karya itu tidak memikirkan proses dan hal teknis sebagai bentuk. Di sanalah, akibat kemapanan si penyair yang tak hanya mapan dalam linguis tetapi lebih penting pada proses pemaknaan aktualisasi kehidupan, akhirnya karya sastra pun diciptakan.   Tiap karya sastra yang lahir, ketika karya tersebut memiliki keunggulan kualitas estetik dan memiliki potensi sebagai sumber inspirasi yang mencerahkan pembacanya, sangat penting untun diapresiasi oleh masyarakat. Menurut Hasanuddin W.S. dkk., apresiasi sastra adalah kemampuan unt...

Sahabat, Karib, Teman (Politik?)

Pikiran Rakyat, 6 November 2016 Awal bulan lalu, saya bersama seorang sahabat mengunjungi studio televisi swasta di Jakarta. Kami ke sana untuk menyaksikan secara langsung tayangan temu wicara (talkshow) politik bertajuk #MerayuJakarta. Tajuk berseri yang menyajikan adu pendapat dari para wakil relawan pemenangan tiga calon gubernur DKI Jakarta. Awalnya tidak ada yang aneh pada malam itu. Namun, semakin acara beranjak riuh oleh hadirin dan temu wicara semakin panas, saya berpikir tentang sesuatu yang menurut saya menarik untuk dibawa ke permukaan. Pada mulanya, saya meraba-raba rasa dan makna tiga kata kunci yang muncul pada forum itu. Kata kunci yang menjelma idiom baru tersebut disematkan oleh masing-masing relawan tim sukses;  Sahabat Anies, Teman Ahok, dan Karib Agus.  Perbedaan yang samar-samar itulah, yang membuat pemilihan kepala daerah khusus ibukota menjadi semakin menarik dan seksi. Dalam hiruk-pikuk perkembangan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, kit...