Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Merawat Pemikiran; Merenungi Kartini

oleh Dr. Susi Fitri, M.Si.,kons. Membaca, sekali lagi membaca bukan merayakan,  membaca surat-surat Kartini bagi saya adalah usaha merawat sebuah pemikiran. Itu pekerjaan sulit di negara ini, karena berpikir tidak dianggap bekerja.  Bekerja  bagi kita adalah sejauh membutuhkan tenaga kasar, lebih bagus lagi kalau berbau-bau militer. itu bisa kita lihat dari berbagai gugatan di FB, di twitter  bahkan di blog. Seorang pahlawan bagi kita adalah orang yang membawa senjata,betapa pun itu artinya membunuh sebuah nyawa yang tidak pernah kita ciptakansendiri. Makanya, cobalah sekali-kali kita hitung berapa jumlah orang militer di taman makam pahlawan dan berapa jumlah orang sipil di sana. Apatah lagi jumlah pemikir dalam taman makam pahlawan yang rindang anggun itu. Bagi kita,membunuh adalah satu cara sah untuk menjadi pahlawan, dan berpikir, hanya membuang-buang waktu menjadi nyinyir. Betapa mengerikannya. Bahwa seseorang yang menulis,seringkali ditulis “...

Kartini: Hak Narasi Seorang Pahlawan

Oleh  Dr. Susi Fitri, M.Si.,kons. Lebih dari seratus tahun yang lalu, Kartini menulis,  “perubahan akan datang di bumi putra…. Siapapun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu rohani untuk melahirkan 'yang baru' harus menanggung derita.”  Namun, perubahan itu tidak datang tanpa usaha yang bercucur keringat dan menghantam perasaan karena sebelum perubahan itu datang, tulisnya lagi, “masih banyak yang harus diperjuangkan, diderita, dilawan serta dikalahkan—pertama-tama Raja Prasangka, kemudian Ratu Kepicikan dan Ratu Kekerdilan Jiwa." Demikianlah. Epik kartini adalah epik kesedihan, kekecewaan, harap-cemas pada keadilan dan kebebasan, dan kemarahan yang membara terhadap penindasan. *** Lama sebelum dengan sadar mulai melakukan perlawanan, sesungguhnya Kartini sudah dianggap sebagai pembangkang, penentang, dan pelanggar sopan santun. Kelincahannya mengundang kecaman pedas dari orang-orang di sekelilingnya. Karena itu, kemudian Kartini menyadari bahwa “jalan yan...

Sahabat, Karib, Teman (Politik?)

Pikiran Rakyat, 6 November 2016 Awal bulan lalu, saya bersama seorang sahabat mengunjungi studio televisi swasta di Jakarta. Kami ke sana untuk menyaksikan secara langsung tayangan temu wicara (talkshow) politik bertajuk #MerayuJakarta. Tajuk berseri yang menyajikan adu pendapat dari para wakil relawan pemenangan tiga calon gubernur DKI Jakarta. Awalnya tidak ada yang aneh pada malam itu. Namun, semakin acara beranjak riuh oleh hadirin dan temu wicara semakin panas, saya berpikir tentang sesuatu yang menurut saya menarik untuk dibawa ke permukaan. Pada mulanya, saya meraba-raba rasa dan makna tiga kata kunci yang muncul pada forum itu. Kata kunci yang menjelma idiom baru tersebut disematkan oleh masing-masing relawan tim sukses;  Sahabat Anies, Teman Ahok, dan Karib Agus.  Perbedaan yang samar-samar itulah, yang membuat pemilihan kepala daerah khusus ibukota menjadi semakin menarik dan seksi. Dalam hiruk-pikuk perkembangan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, kit...

Jurus Cimande, Membela Diri Bukan Melawan

bersama kasepuhan Seni Silat Cimande, Abah Ali dan istri Belum terlalu lama saya sempat menjenguk keadaan sebuah kampung kecil bernama Cibata. Kampung yang tak jauh dari tempat tinggal saya di Desa Barengkok-Bogor bagian barat pulau Jawa Barat. Kampung yang dipenuhi lahan hijau persawahan, ladang, dan kolam ikan sebagai tempat pemancaingan atau penangkaran. Cibata tak hanya menyimpan keindahan lanskap sejauh mata memandang saja. Di balik eloknya permukaan ia simpan berjuta nilai luhur di mana kehidupan menemukan hakikat keberanian.  Sebelum lebih banyak kita bercerita, sedikit bolehlah kita menengok pertanyaan, untuk apa sesungguhnya kita memelihara budaya dan tradisi bangsa? Mungkin juga ini menjadi salah satu jawaban bahwa tidak lain karena kita ingin selalu belajar menjadi manusia (manusia dengan “M” besar) . Dengan memelihara budaya dan tradisi kita akan berjumpa dengan beragam karakter manusia, jenis-jenis pola pikir, seluk-beluk kepercayaan, dan cara pandang beragam m...

Kontemplasi, Kepedulian, dan Kemapanan dalam Syair Tanah Lahir

Tulisan ini membahas buku puisi Syair Tanah Lahir karya Rudy Ramdani Perenungan, kepedulian, dan kemapanan.  Tiga hal yang menurut saya berkesinambungan. Akibat perenungan (kontemplasi) kita akhirnya dapat menghasilkan suatu sikap, dalam hal ini kepedulianlah yang muncul. Rasa peduli itu kemudian merambah pada kemampuan seseorang menciptakan hasta karya, sebagai salah satu ungkapan ekspresi dari seseorang. Tidak mungkin dalam menciptakan sebuah karya itu tidak memikirkan proses dan hal teknis sebagai bentuk. Di sanalah, akibat kemapanan si penyair yang tak hanya mapan dalam linguis tetapi lebih penting pada proses pemaknaan aktualisasi kehidupan, akhirnya karya sastra pun diciptakan.   Tiap karya sastra yang lahir, ketika karya tersebut memiliki keunggulan kualitas estetik dan memiliki potensi sebagai sumber inspirasi yang mencerahkan pembacanya, sangat penting untun diapresiasi oleh masyarakat. Menurut Hasanuddin W.S. dkk., apresiasi sastra adalah kemampuan unt...