Langsung ke konten utama

Kartini: Hak Narasi Seorang Pahlawan

Oleh 
Dr. Susi Fitri, M.Si.,kons.



Lebih dari seratus tahun yang lalu, Kartini menulis, 
“perubahan akan datang di bumi putra…. Siapapun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu rohani untuk melahirkan 'yang baru' harus menanggung derita.” 

Namun, perubahan itu tidak datang tanpa usaha yang bercucur keringat dan menghantam perasaan karena sebelum perubahan itu datang, tulisnya lagi, “masih banyak yang harus diperjuangkan, diderita, dilawan serta dikalahkan—pertama-tama Raja Prasangka, kemudian Ratu Kepicikan dan Ratu Kekerdilan Jiwa." Demikianlah. Epik kartini adalah epik kesedihan, kekecewaan, harap-cemas pada keadilan dan kebebasan, dan kemarahan yang membara terhadap penindasan.

***
Lama sebelum dengan sadar mulai melakukan perlawanan, sesungguhnya Kartini sudah dianggap sebagai pembangkang, penentang, dan pelanggar sopan santun. Kelincahannya mengundang kecaman pedas dari orang-orang di sekelilingnya. Karena itu, kemudian Kartini menyadari bahwa “jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak lubang, jalan itu berbatu-batu, berjendal jendul, licin… belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia." Maka, apapun yang terjadi dia sudah bertekad bahwa ‘khayalnya’ itu akan dia pertahankan. Dalam optimisme yang menggiris pilu, dia mengatakan, 
“melalui kesedihan dan penderitaan kami dapat menghasilkan sesuatu—sekalipun kecil saja—yang bermanfaat bagi bangsa kami terutama wanitanya.”

Kecaman Kartini dan adik-adiknya ditujukan bagi orang-orang yang menyalahgunakan kedudukan tinggi, pada kebiasaan sikap yang tak memperlihatkan rasa saling hormat, kepada kelaziman adat yang tak ada arti, yang dilestarikan hanya demi tradisi (sesuatu yang sudah dari sononya). Pada kelaziman ini mereka memberontak. Karenanya bila mereka menjumpai pemahat kayu di belakang gunung, Roekmini—salah seorang adik Kartini—kadang ikut bekerja. Dengan senang Roekmini duduk di bangku di samping sang seniman yang lantas menjadi malu karena lazimnya adat mengharuskan ia duduk di tempat yang lebih rendah, tak lazim seorang tukang seperti dia duduk sejajar dengan Raden Ajeng nan terhormat. Kartini pun membiarkan adik-adiknya tidak menghatur sembah dan duduk berjajar setara saja dengan dirinya. Jika Kartini merasa dirinya atau orang lain diperlakukan tak adil, 

mulailah ia membela mereka dengan kepalan perasaan yang tertahan, atau dalam kata-kata Kartini sendiri, “dengan bibir gemetar dan suara bergetar”. 

Terhadap diskriminasi, sikapnya sangat jelas. Suatu waktu, ketika seorang Arab—teman keluarga Kartini—mengatakan bahwa Kartini mungkin saja keturunan Arab, keturunan Said, keturunan yang berkedudukan tinggi sebagai penerus keturunan nabi, karena, menurut teman ini, bentuk mata Kartini bukan mata Jawa, tapi mata Arab. Lantas, dengan pedas, Kartini mengomentari, “Tidak begitu kami hiraukan dari keluarga mana kami berasal. Apa keuntungannya membanggakan asal-usul? Bukankah pekerja paksa yang bekerja di jalan itu berasal dari nenek moyang yang hidup pada zaman yang sama dengan nenek moyang kami?" Suatu waktu yang lain, tentang diskriminasi terhadap orang Cina, dengan pilu Kartini mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap larangan bapaknya agar tidak bergaul dengan orang Cina, padahal menurut Kartini orang-orang Cina yang dimaksud bapaknya itu sudah mengambil risiko besar terhadap pemerintah (Belanda) dengan membantu penduduk pribumi memberikan berton-ton beras ketika kemarau tiba dan tidak menaikkan harga ketika terjadi kelangkaan barang. Sesuatu yang menurutnya sepatutnya justru dilakukan oleh orang Eropa yang telah 
“mengambil emas dari tanah Jawa”.
***
Kartini adalah orang yang dilumat oleh cita-cita. Lewat narasi Kartinilah kita tahu bahwa seorang pahlawan bukan orang yang mendada segala rintangan dengan gagah berani tak kenal menyerah, sebuah gambaran umum tentang pahlawan yang sebenarnya sangat maskulin dan nyaris lebih banyak mitos daripada kenyataan. Namun, seorang pahlawan adalah orang biasa yang harus menghadapi benturan antara cita-citanya dengan kejumudan orang lain di ruang yang kerap paling pribadi: di rumah sendiri. Terhadap orang yang justru paling dicintai: keluarga.
Hal itu seringkali membuatnya putus asa. 
“Perjuangan kami yang paling sengit adalah di rumah orang tua kami sendiri,” tulis Kartini. 
Membentur orang yang paling dicintai, yaitu orang tua dan paman kesayangan ayahnya, seorang Bupati Demak yang tak suka dengan sepak terjang sang keponakan. Kartini mengatakan, “Kami—maksudnya, dia dan dua orang adiknya Roekmini dan Kardinah—sudah dapat memastikan bahwa Paman akan menentang kami dengan sekuat tenaga, mula-mula lewat Bapak, dan jika itu tak mempan, dengan cara yang lain.” Seperti yang ditegaskan oleh Ngasirah (ibu kandung Kartini yang bukan Raden Ayu, artinya istri sampingan ayahnya), “Paman dan Bibimu akan mencincangmu sampai lumat, tetapi tenanglah, masih ada Tuhan. Selama engkau menginginkan hal yang baik dan gigih mengejarnya, Ia akan menjagamu.” Penderitaan begitu menekan dirasakan Kartini. “Hampir semua anggota keluarga saya bersikap dingin, karena saya terkurung di rumah, dan karena saya tidak dapat menerima dengan pasrah berbagai adat kebiasaan yang berlaku,” ujarnya. Bagi Kartini, tinggal di rumah dengan cita-cita yang begitu berbeda dengan seisi rumah merupakan penderitaan batin yang tak terhingga, terutama saat dipingit: “Aku ingat, di saat putus asa, badan ini aku hempaskan ke pintu yang senantiasa terkunci atau ke tembok yang dingin.” 
Tentang Bapak, Kartini menulis dengan getir. Suatu saat ketika tawaran-tawaran kerja kreatif dimintakan kepada Kartini, dia bilang, “masalahnya bukan apakah aku mau, tapi apakah diizinkan Bapak.” O! Betapa izin seorang bapak sudah menjadi sabda rupanya! Dan, bapak Kartini—betapapun sangat mencintai dan memahami cita-cita serta kemauan keras Trinil (nama kesayangan yang diberikan bapaknya yang artinya ‘burung kecil’)—rupanya lebih takut pada kecaman masyarakat yang dapat menurunkan wibawanya, menghancurkan nama baiknya. Bagaimanapun, Raden Mas Sostroningrat, sang Bupati Jepara, ayah Kartini itu, telah terkungkung di tengah masyarakatnya yang feodal, patuh pada pemerintah (Belanda), terbelenggu oleh pendapat keluarga dan teman sebangsa, serta terikat oleh kelaziman-kelaziman yang bersimaharajalela di masa hidupnya. Terhadap kelaziman inilah Kartini menyatakan perang. Adapun Moerjam—ibu Kartini yang lain, yang menjadi Raden Ayu di rumah, artinya istri utama ayahnya—terhadap cita-cita Kartini dan Roekmini untuk melanjutkan studi ke Belanda, Raden Ayu ini mengatakan bahwa mereka berdua, yakni Kartini dan Roekmini, adalah orang-orang egois karena "hanya ingat diri sendiri dan membuat seluruh keluarga sedih.” Mereka memang tinggal satu rumah, tapi hidup di dunia yang berbeda dan berlainan pandangan. Pandangan Kartini tertuju pada masa depan yang jauh dan kepada nasib banyak orang yang tertindas dan tanpa penolong, sedangkan pandangan keluarganya terarah hanya pada masa depan yang paling dekat, yaitu pada perkawinan yang pantas yang dengan itu bisa meningkatkan martabat keluarga dan menghilangkan aib punya anak perawan tua.
Tidak hanya itu, Kartini—yang sekarang kita kenal sebagai pahlawan—seringkali dilecehkan dan dihina di area yang paling pribadi: seksualitasnya. Cita-cita kebebasannya pernah ditanggapi dengan ejekan yang kasar dari Mas Slamet, kakaknya, yang mengatakan bahwa perempuan hanya bisa bebas dengan “berdiri di belakang gamelan!” Bagi Kartini, ejekan kakaknya itu sama artinya menyamakan Kartini dengan seorang ronggeng! Itu adalah hinaan paling rendah yang ditujukan kepada seorang perempuan (ningrat) saat itu (jika diterjemahkan ke dalam ungkapan zaman sekarang, sama dengan mengatakan: “Jadi perek aja lu sekalian!) 
Bahkan, ketika Hadiningrat— yakni paman Kartini, Bupati Demak yang masih keturunan Raja Demak itu lho—mengadakan makan malam dengan teman-teman Belandanya dan mereka ngrasani alias menggunjingkan cita-cita Kartini untuk melanjutkan studi, para nyonya Belanda yang ikut hadir menyindir dengan nyinyir bahwa Kartini dan Roekmini ingin melanjutkan studi ke negeri Belanda hanya karena merasa malu belum menikah. Tak cukup mengecam dengan cara itu, mereka juga menuduh bahwa pikiran-pikiran maju Kartini dan Roekmini hanya sekadar alasan untuk mendapatkan suami Eropa (“suami bule” istilah sekarang). Pada zaman itu, menyindir dengan cara semacam itu sama artinya dengan mengatakan bahwa dua kakak beradik ini memang ingin menjadi Nyai alias gundik laki-laki Belanda. 
Di Eropapun, demikian pergunjingan nyonya-nyonya itu selanjutnya, gadis-gadis pendukung emansipasi terdiri dari orang-orang yang ‘tak punya harapan untuk bersuami’, perempuan-perempuan yang nggak laku. Nyonya-nyonya yang terhormat itu rupanya lupa (dan karena itu biasanya mereka juga sedikit tolol) bahwa pada kenyataannya Stella, sahabat Kartini, yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan adalah perempuan yang bekerja dan menikah. Stella bekerja di kantor telepon dan suaminya bekerja di kantor telegrap. Nellie van Kol yang selalu mendorong Kartini untuk menulis dan mengusahakan fasilitas agar Kartini dan Roekmini dapat melanjutkan sekolah ke Belanda adalah seorang penulis dan guru yang menikah dengan van Kol, seorang anggota parlemen Belanda. Mereka, nyonya-nyonya itu, semua lupa atau tidak mau melihat kenyataan di depan mata dan lebih suka dengan ejekan orang pada Kartini dan adik-adiknya sebagai ‘tiga dara berandal’ yang dituduh berbuat dosa besar karena menghadiri gala dinner tempat ratusan orang asing berkumpul. Kepada para penggunjingnya itu, Kartini dengan dingin menyebut mereka sebagai orang miskin, “miskin ditengah kelimpahan dan kebesaran! Barang-barang mati semuanya dan orang-orang yang sehari-hari mengelilinginya dengan bahasa jilatan, semua hanya memburu keuntungan sendiri! Ia tak punya apapun yang dapat ditekuninya dengan sepenuh hati dan jiwanya.” Bagi tukang gosip, checking reality memang tidak penting. Juga, tentu saja tak cukup punya kemampuan untuk melakukannya. Bagi tukang gunjing, yang terpenting adalah agar ‘tampak hebat’ dan dinilai paling bermoral di lingkungannya yang jumud. Ide pencerahan tidak mereka kenal, hal baru yang tidak menyenangkan, dan tentu saja rumit bagi otak mereka yang sederhana. Menurut Kartini, mereka adalah orang-orang yang “tidak berpikir, mereka hanya menerima". 
Kartini memperlihatkan pada kita bahwa yang namanya keluarga seringkali tak lain tak bukan adalah masyarakat yang menyusup ke balik tembok rumah dan memingit. Atau, meminjam kata-kata Armijn Pane, keluarga adalah belenggu yang dipenuhi oleh kecemasan pada “apa kata orang nanti”. Karena itu, keluarga tidaklah selalu menjadi pendukung penuh cita-cita pembaharuan dan membuat orang seperti Kartini dijerat dalam dilema. Kartini sangat mencintai keluarga, sangat menghormati ayah dan ibu-ibunya, sehingga betapapun kemarahannya meletup-letup, protes yang dia lakukan tetap dengan bahasa kromo, tetap dengan sembah yang dihaturkan sebelum bicara. Maka, tak heran bila Kartini mencurahkan segala harap dan dukungan terhadap “pikiran-pikiran gilanya” itu bukan kepada ibu kandungnya, apalagi pada ibu tirinya, tapi kepada Rossa Abendanon yang disebutnya sebagai “ibu jiwa”. Apa boleh buat, meminjam istilah zaman sekarang, keluarga Kartini mungkin bukanlah keluarga sakinah mawaddah wa rohmah. 
***
Membaca narasi diri Kartini melalui kata-katanya yang terkadang tajam terkadang pilu itu, saya mendapati citra Kartini yang sama sekali lain dengan yang saya alami ketika sekolah di zaman Orde Baru. Alangkah ajaibnya ketika kritik pedas dan kemarahan Kartini yang membara terhadap feodalisme bangsanya dan pemerintah (Belanda) tiba-tiba berubah menjadi sebuah pertunjukan kebaya belaka, sebuah tafsir yang kekanak-kanakan atas pikiran Kartini. 
Cita-citanya yang menginginkan “perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya”, tiba-tiba dirayakan dengan lomba memasak nasi goreng, lomba memakai make up sambil ditutup mata, dan lomba-lomba kenes yang nggak jelas. 
Dan, lebih ajaib lagi ketika masyarakat Orde Baru punya anggapan bahwa emansipasi artinya adalah boleh kerja asal tidak menyalahi kodrat. Aneh, karena bagi masyarakat Kartini waktu itu, perempuan bekerja saja artinya sudah menyalahi kodrat. Yang tidak kalah ajaib adalah ketika saya diajari melalui lagu yang dinyanyikan terus-menerus bahwa Kartini adalah seorang putri sejati, yang mulia, yang harum namanya. Kartini tiba-tiba menjadi legenda, menjadi mitos, menjadi lambang-azimat yang melenyapkan segala pemikiran dan mimpi hidup Kartini itu sendiri. Tidak heran jika tradisi yang dulu digempur Kartini, kini justru diadopsi oleh banyak mahasiswi. Karenanya, jangan heran kalo banyak perempuan sudah bisa bekerja, namun tak jauh dari memikirkan kepentingan pribadi semata. Yang penting lulus kuliah (kuliah dengan subsidi negara, sebagiannya berasal dari pajak mereka-mereka yang tak bisa kuliah), cari kerja (yang bergengsi tentu saja!), dan berumah tangga (dengan suami tajir, kalo bisa!), bukan memberikan dirinya pada masyarakat luas dan bekerja untuk kebaikan sesama seperti yang dicita-citakan Kartini. 
Btw, masyarakat? Emangnye gue pikirin!

Maka, kisah Kartini—yang walaupun meninggal sebagai Raden Ayu (menikah), namun ditenarkan sebagai Raden Ajeng (lajang)—bukan saja sebuah epik tapi juga tragedi, demikian ujar Goenawan Mohamad. Sebab, "apa yang menyebabkan adik saya menyerah, telah menyebabkan juga saya tak berdaya. Nasihat dokter masih tetap berlaku; emosi (Bapak) harus dicegah…. Saya tidak mau menjadi penentu nasib buruk Bapak dan dengan demikian mendatangkan bencana bagi semua orang yang saya sayangi…. Tak usah saya bercerita kepada Anda betapa berat bagi saya bertindak melawan perasaan saya yang paling dalam, melawan keyakinan saya sendiri yang paling suci,” demikian ratapan Kartini kepada ibu jiwanya, Rossa Abendanon, menjelang pernikahan poligaminya dengan seorang duda beristri tiga beranak enam: Raden Adipati Djojo Adiningrat, G.M., G.S., Bupati Rembang yang sudah “mengincarnya” sejak lama, sejak istri utamanya masih hidup, karena tertarik pada ide pembaharuan yang dimiliki Kartini. 

Namun demikian, pernikahannya dengan sang bupati itu memang pernikahan yang tak lazim pada zaman itu. Saat pernikahan berlangsung, Roekmini bercerita begini: “Pada upacara temon, Kartini tidak mencium kaki suaminya. Uah, seluruh keluarga bergumam jengkel…. Kartini puas karena tak perlu membungkukkan badan. Suaminya pun agak terkejut… namun karena ia sendiri seorang liberal, ia pun segera dapat memahami maksud Kartini. Ia menyetujuinya, dan segera mengulurkan lengannya kepada isterinya.” Pembangkangan pada tradisi (perkawinan) bukan sekali mereka lakukan. Pernah pula pada saat Kardinah menikah, pembangkangan kembali mereka perlihatkan. Kartini menceritakannya dalam salah satu suratnya: “Pada pertemuan ini, ketika Kardinah melakukan acara sungkem kepada pengantin lelaki, semua orang berlutut. Para bupati, para raden ayu, semua duduk di lantai; hanya lutut kami berdua yang kaku, dan kami tetap berdiri seperti lilin di tengah kerumunan laron.” Dalam hubungan dengan suaminya, Kartini menginginkan suami sebagai sahabat. 
Di antara syarat yang diajukan Kartini ketika mereka bertunangan adalah mereka harus bicara dalam bahasa ngoko, yaitu bahasa sehari-hari di rumah yang dianggap “kasar”, bukan dengan bahasa kromo sebagaimana seharusnya istri kepada suami. Toh, rupanya mereka lebih sering berbahasa Belanda, sesuatu yang lebih tak lazim. 

Demikianlah corak hubungan mereka kemudian. Dalam diri suaminya, Kartini menemukan seorang teman yang mendukung rencana-rencananya untuk perbaikan nasib orang sebangsa. Sementara itu, dalam diri Kartini, Raden Adipati Djojo Adiningrat menemukan teman diskusi yang setimpal dalam memecahkan persoalan kemasyarakatan. Mereka kemudian mendirikan sekolah gadis dan sekolah pertukangan. Mereka juga menulis buku mengenai mitos dan legenda Jawa. Setiap kali Gubernemen mengeluarkan usul yang bodoh, Bupati Rembang itu dengan marah masuk ke kamar Kartini (untuk membahasnya).

Karena hubungan seperti itulah Kartini pernah menulis dengan gembira bahwa “saya tidak hanya telah belajar menghormatinya,… tetapi juga belajar mencintainya”. Cita-citalah yang menyatukan mereka. 
Cita-citalah yang membuat mereka saling menghormati dan mencintai. Cita-citalah yang juga disebut-sebut oleh Bupati Rembang itu ketika mengabarkan wafatnya Kartini pada keluarga Abendanon: "Raden Ayu dengan tenang menghembuskan nafas terakhir di pangkuan saya, di hadapan dokter…. Saya sungguh tergoncang dan apa yang saya rasakan tak dapat saya lukiskan dengan kata-kata…. Selama 10 bulan saya begitu bahagia dengan Almarhumah. Dalam pikiran dan cita-cita, ia merupakan penjelmaan cinta, dan pandangan-pandangannya begitu luas, sehingga di antara perempuan sebangsanya tak ada yang menyamainya.” (Walaupun begitu, satu setengah tahun kemudian dia menikah kembali dengan saudara perempuan Susuhunan Solo. Apa boleh buat, keagungan menjadi ipar seorang raja terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja.)

***
Demikianlah, Kartini mencintai Djojo Adiningrat, tapi membenci perkawinan (poligami); mencintai keluarga, tapi membenci feodalisme ningrat; mencintai Abendanon dan Stella, tapi membenci kolonialisme dan rasis Eropa. Kartini mencintai manusia, namun membenci institusi zamannya dan membayangkan institusi yang lain, membayangkan sebuah imagined community yang belum tampak, yang bahkan menurut tuturnya, “belum dirintis!”. 

Kartini, dalam narasi kepahlawanannya—walaupun dia sama sekali tidak memaksudkan demikian—membuat kita menyadari bahwa ningrat (ketimuran) tidaklah berwajah satu, tidak selalu luhur seperti yang kita gembar-gemborkan. 
Demikian pula Eropa (kebaratan) tidaklah seragam, melainkan rumit. Licin. Dan, setiap saat berganti tumpang. Narasi diri Kartini juga mendengungkan bahwa what personal is political. Maka, pahlawan bukanlah orang yang mengangkat senjata dan menembak sana-sini. Pahlawan tidak pernah bercita-cita menjadi pahlawan. Pahlawan adalah seorang manusia yang beranjak. Keberanjakannya membuat dia harus menghadapi keluarga, sahabat, bangsa, dan dirinya sendiri demi angan-angan yang melampaui zamannya. Keberanjakannya membuat dia harus mengatasi kepengecutan dirinya sendiri pada manusia, seperti ucapan Kartini suatu ketika pada Moerjam, salah satu ibunya: “Mama, kami tidak dapat berbuat apa-apa kalau Mama hanya takut pada manusia.” Dengan keberanjakannya, pahlawan adalah orang-orang yang memiliki cita-cita untuk orang lain, memberikan bahasa yang hidup bagi angan-angan orang lain. 

Bekasi, 13 Desember 2009 pukul 21:28

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hayati Lelah, Bang!

[Pikiran Rakyat, 10 April 2016] Seorang bijak pernah mengatakan, “satu hal yang mutlak berubah di bumi ini adalah perubahan itu sendiri”. Tak ketinggalan, perubahan ke arah yang lebih dinamis dibumbui fenomena roman terjadi pada publik kekinian -mayoritas netizen. Perubahan itu dapat dicurigai merupakan pengaruh dari sikap pribadi yang kemudian menular pada sikap kolektif. Misalnya saja satu orang yang sedang dirundung gelisah, saat ia bercerita kepada satu orang lainnya dan lebih banyak orang, maka bisa jadi kegelisahan itu dikuatkan oleh orang di sekelilingnya yang juga merasakan. Perasaan kemudian diimbangin oleh pikiran. Rasa dan pikir, hakikat dasar sumber munculnya tanggapan dari manusia. Tanggapan yang merupakan kesan yang dialami jika perangsang sudah tidak ada. Tanggapan juga berarti bayangan atau kesan yang tertinggal di dalam diri seseorang setelah kita melakukan pengamatan terhadap suatu objek (Emzir dan Saifur: 2015: 166). Adapun tanggapan memiliki dua fungsi:...

Kontemplasi, Kepedulian, dan Kemapanan dalam Syair Tanah Lahir

Tulisan ini membahas buku puisi Syair Tanah Lahir karya Rudy Ramdani Perenungan, kepedulian, dan kemapanan.  Tiga hal yang menurut saya berkesinambungan. Akibat perenungan (kontemplasi) kita akhirnya dapat menghasilkan suatu sikap, dalam hal ini kepedulianlah yang muncul. Rasa peduli itu kemudian merambah pada kemampuan seseorang menciptakan hasta karya, sebagai salah satu ungkapan ekspresi dari seseorang. Tidak mungkin dalam menciptakan sebuah karya itu tidak memikirkan proses dan hal teknis sebagai bentuk. Di sanalah, akibat kemapanan si penyair yang tak hanya mapan dalam linguis tetapi lebih penting pada proses pemaknaan aktualisasi kehidupan, akhirnya karya sastra pun diciptakan.   Tiap karya sastra yang lahir, ketika karya tersebut memiliki keunggulan kualitas estetik dan memiliki potensi sebagai sumber inspirasi yang mencerahkan pembacanya, sangat penting untun diapresiasi oleh masyarakat. Menurut Hasanuddin W.S. dkk., apresiasi sastra adalah kemampuan unt...