Oleh
Dr. Susi Fitri, M.Si.,kons.
***
Bekasi, 13 Desember 2009 pukul 21:28
Dr. Susi Fitri, M.Si.,kons.
Lebih
dari seratus tahun yang lalu, Kartini menulis,
Namun, perubahan itu tidak datang tanpa usaha yang bercucur keringat dan menghantam perasaan karena sebelum perubahan itu datang, tulisnya lagi, “masih banyak yang harus diperjuangkan, diderita, dilawan serta dikalahkan—pertama-tama Raja Prasangka, kemudian Ratu Kepicikan dan Ratu Kekerdilan Jiwa." Demikianlah. Epik kartini adalah epik kesedihan, kekecewaan, harap-cemas pada keadilan dan kebebasan, dan kemarahan yang membara terhadap penindasan.
“perubahan akan datang di bumi putra…. Siapapun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu rohani untuk melahirkan 'yang baru' harus menanggung derita.”
Namun, perubahan itu tidak datang tanpa usaha yang bercucur keringat dan menghantam perasaan karena sebelum perubahan itu datang, tulisnya lagi, “masih banyak yang harus diperjuangkan, diderita, dilawan serta dikalahkan—pertama-tama Raja Prasangka, kemudian Ratu Kepicikan dan Ratu Kekerdilan Jiwa." Demikianlah. Epik kartini adalah epik kesedihan, kekecewaan, harap-cemas pada keadilan dan kebebasan, dan kemarahan yang membara terhadap penindasan.
***
Lama
sebelum dengan sadar mulai melakukan perlawanan, sesungguhnya Kartini sudah
dianggap sebagai pembangkang, penentang, dan pelanggar sopan santun.
Kelincahannya mengundang kecaman pedas dari orang-orang di sekelilingnya.
Karena itu, kemudian Kartini menyadari bahwa “jalan yang hendak saya tempuh itu
sukar, penuh duri, onak lubang, jalan itu berbatu-batu, berjendal jendul,
licin… belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan
itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan
bahagia." Maka, apapun yang terjadi dia sudah bertekad bahwa ‘khayalnya’
itu akan dia pertahankan. Dalam optimisme yang menggiris pilu, dia mengatakan,
“melalui kesedihan dan penderitaan kami dapat menghasilkan sesuatu—sekalipun kecil saja—yang bermanfaat bagi bangsa kami terutama wanitanya.”
Kecaman
Kartini dan adik-adiknya ditujukan bagi orang-orang yang menyalahgunakan
kedudukan tinggi, pada kebiasaan sikap yang tak memperlihatkan rasa saling
hormat, kepada kelaziman adat yang tak ada arti, yang dilestarikan hanya demi
tradisi (sesuatu yang sudah dari sononya). Pada kelaziman ini mereka
memberontak. Karenanya bila mereka menjumpai pemahat kayu di belakang gunung,
Roekmini—salah seorang adik Kartini—kadang ikut bekerja. Dengan senang Roekmini
duduk di bangku di samping sang seniman yang lantas menjadi malu karena
lazimnya adat mengharuskan ia duduk di tempat yang lebih rendah, tak lazim
seorang tukang seperti dia duduk sejajar dengan Raden Ajeng nan terhormat.
Kartini pun membiarkan adik-adiknya tidak menghatur sembah dan duduk berjajar
setara saja dengan dirinya. Jika Kartini merasa dirinya atau orang lain
diperlakukan tak adil,
mulailah ia membela mereka dengan kepalan perasaan yang tertahan, atau dalam kata-kata Kartini sendiri, “dengan bibir gemetar dan suara bergetar”.
Terhadap
diskriminasi, sikapnya sangat jelas. Suatu waktu, ketika seorang Arab—teman
keluarga Kartini—mengatakan bahwa Kartini mungkin saja keturunan Arab,
keturunan Said, keturunan yang berkedudukan tinggi sebagai penerus keturunan
nabi, karena, menurut teman ini, bentuk mata Kartini bukan mata Jawa, tapi mata
Arab. Lantas, dengan pedas, Kartini mengomentari, “Tidak begitu kami hiraukan
dari keluarga mana kami berasal. Apa keuntungannya membanggakan asal-usul?
Bukankah pekerja paksa yang bekerja di jalan itu berasal dari nenek moyang yang
hidup pada zaman yang sama dengan nenek moyang kami?" Suatu waktu yang
lain, tentang diskriminasi terhadap orang Cina, dengan pilu Kartini
mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap larangan bapaknya agar tidak bergaul
dengan orang Cina, padahal menurut Kartini orang-orang Cina yang dimaksud
bapaknya itu sudah mengambil risiko besar terhadap pemerintah (Belanda) dengan
membantu penduduk pribumi memberikan berton-ton beras ketika kemarau tiba dan
tidak menaikkan harga ketika terjadi kelangkaan barang. Sesuatu yang menurutnya
sepatutnya justru dilakukan oleh orang Eropa yang telah
“mengambil emas dari tanah Jawa”.
***
Kartini
adalah orang yang dilumat oleh cita-cita. Lewat narasi Kartinilah kita tahu
bahwa seorang pahlawan bukan orang yang mendada segala rintangan dengan gagah
berani tak kenal menyerah, sebuah gambaran umum tentang pahlawan yang
sebenarnya sangat maskulin dan nyaris lebih banyak mitos daripada kenyataan.
Namun, seorang pahlawan adalah orang biasa yang harus menghadapi benturan
antara cita-citanya dengan kejumudan orang lain di ruang yang kerap paling
pribadi: di rumah sendiri. Terhadap orang yang justru paling dicintai:
keluarga.
Hal
itu seringkali membuatnya putus asa.
“Perjuangan kami yang paling sengit adalah di rumah orang tua kami sendiri,” tulis Kartini.Membentur orang yang paling dicintai, yaitu orang tua dan paman kesayangan ayahnya, seorang Bupati Demak yang tak suka dengan sepak terjang sang keponakan. Kartini mengatakan, “Kami—maksudnya, dia dan dua orang adiknya Roekmini dan Kardinah—sudah dapat memastikan bahwa Paman akan menentang kami dengan sekuat tenaga, mula-mula lewat Bapak, dan jika itu tak mempan, dengan cara yang lain.” Seperti yang ditegaskan oleh Ngasirah (ibu kandung Kartini yang bukan Raden Ayu, artinya istri sampingan ayahnya), “Paman dan Bibimu akan mencincangmu sampai lumat, tetapi tenanglah, masih ada Tuhan. Selama engkau menginginkan hal yang baik dan gigih mengejarnya, Ia akan menjagamu.” Penderitaan begitu menekan dirasakan Kartini. “Hampir semua anggota keluarga saya bersikap dingin, karena saya terkurung di rumah, dan karena saya tidak dapat menerima dengan pasrah berbagai adat kebiasaan yang berlaku,” ujarnya. Bagi Kartini, tinggal di rumah dengan cita-cita yang begitu berbeda dengan seisi rumah merupakan penderitaan batin yang tak terhingga, terutama saat dipingit: “Aku ingat, di saat putus asa, badan ini aku hempaskan ke pintu yang senantiasa terkunci atau ke tembok yang dingin.”
Tentang
Bapak, Kartini menulis dengan getir. Suatu saat ketika tawaran-tawaran kerja
kreatif dimintakan kepada Kartini, dia bilang, “masalahnya bukan apakah aku
mau, tapi apakah diizinkan Bapak.” O! Betapa izin seorang bapak sudah menjadi
sabda rupanya! Dan, bapak Kartini—betapapun sangat mencintai dan memahami
cita-cita serta kemauan keras Trinil (nama kesayangan yang diberikan bapaknya
yang artinya ‘burung kecil’)—rupanya lebih takut pada kecaman masyarakat yang
dapat menurunkan wibawanya, menghancurkan nama baiknya. Bagaimanapun, Raden Mas
Sostroningrat, sang Bupati Jepara, ayah Kartini itu, telah terkungkung di
tengah masyarakatnya yang feodal, patuh pada pemerintah (Belanda), terbelenggu
oleh pendapat keluarga dan teman sebangsa, serta terikat oleh
kelaziman-kelaziman yang bersimaharajalela di masa hidupnya. Terhadap kelaziman
inilah Kartini menyatakan perang. Adapun Moerjam—ibu Kartini yang lain, yang
menjadi Raden Ayu di rumah, artinya istri utama ayahnya—terhadap cita-cita
Kartini dan Roekmini untuk melanjutkan studi ke Belanda, Raden Ayu ini
mengatakan bahwa mereka berdua, yakni Kartini dan Roekmini, adalah orang-orang
egois karena "hanya ingat diri sendiri dan membuat seluruh keluarga
sedih.” Mereka memang tinggal satu rumah, tapi hidup di dunia yang berbeda dan
berlainan pandangan. Pandangan Kartini tertuju pada masa depan yang jauh dan
kepada nasib banyak orang yang tertindas dan tanpa penolong, sedangkan
pandangan keluarganya terarah hanya pada masa depan yang paling dekat, yaitu
pada perkawinan yang pantas yang dengan itu bisa meningkatkan martabat keluarga
dan menghilangkan aib punya anak perawan tua.
Tidak
hanya itu, Kartini—yang sekarang kita kenal sebagai pahlawan—seringkali
dilecehkan dan dihina di area yang paling pribadi: seksualitasnya. Cita-cita
kebebasannya pernah ditanggapi dengan ejekan yang kasar dari Mas Slamet,
kakaknya, yang mengatakan bahwa perempuan hanya bisa bebas dengan “berdiri di
belakang gamelan!” Bagi Kartini, ejekan kakaknya itu sama artinya menyamakan
Kartini dengan seorang ronggeng! Itu adalah hinaan paling rendah yang ditujukan
kepada seorang perempuan (ningrat) saat itu (jika diterjemahkan ke dalam
ungkapan zaman sekarang, sama dengan mengatakan: “Jadi perek aja lu
sekalian!)
Bahkan,
ketika Hadiningrat— yakni paman Kartini, Bupati Demak yang masih keturunan Raja
Demak itu lho—mengadakan makan malam dengan teman-teman Belandanya dan mereka
ngrasani alias menggunjingkan cita-cita Kartini untuk melanjutkan studi, para
nyonya Belanda yang ikut hadir menyindir dengan nyinyir bahwa Kartini dan
Roekmini ingin melanjutkan studi ke negeri Belanda hanya karena merasa malu
belum menikah. Tak cukup mengecam dengan cara itu, mereka juga menuduh bahwa
pikiran-pikiran maju Kartini dan Roekmini hanya sekadar alasan untuk
mendapatkan suami Eropa (“suami bule” istilah sekarang). Pada zaman itu,
menyindir dengan cara semacam itu sama artinya dengan mengatakan bahwa dua
kakak beradik ini memang ingin menjadi Nyai alias gundik laki-laki
Belanda.
Di
Eropapun, demikian pergunjingan nyonya-nyonya itu selanjutnya, gadis-gadis
pendukung emansipasi terdiri dari orang-orang yang ‘tak punya harapan untuk
bersuami’, perempuan-perempuan yang nggak laku. Nyonya-nyonya yang terhormat
itu rupanya lupa (dan karena itu biasanya mereka juga sedikit tolol) bahwa pada
kenyataannya Stella, sahabat Kartini, yang gigih memperjuangkan hak-hak
perempuan adalah perempuan yang bekerja dan menikah. Stella bekerja di kantor
telepon dan suaminya bekerja di kantor telegrap. Nellie van Kol yang selalu
mendorong Kartini untuk menulis dan mengusahakan fasilitas agar Kartini dan Roekmini
dapat melanjutkan sekolah ke Belanda adalah seorang penulis dan guru yang
menikah dengan van Kol, seorang anggota parlemen Belanda. Mereka, nyonya-nyonya
itu, semua lupa atau tidak mau melihat kenyataan di depan mata dan lebih suka
dengan ejekan orang pada Kartini dan adik-adiknya sebagai ‘tiga dara berandal’
yang dituduh berbuat dosa besar karena menghadiri gala dinner tempat ratusan
orang asing berkumpul. Kepada para penggunjingnya itu, Kartini dengan dingin
menyebut mereka sebagai orang miskin, “miskin ditengah kelimpahan dan
kebesaran! Barang-barang mati semuanya dan orang-orang yang sehari-hari
mengelilinginya dengan bahasa jilatan, semua hanya memburu keuntungan sendiri!
Ia tak punya apapun yang dapat ditekuninya dengan sepenuh hati dan jiwanya.”
Bagi tukang gosip, checking reality memang tidak penting. Juga, tentu saja tak
cukup punya kemampuan untuk melakukannya. Bagi tukang gunjing, yang terpenting
adalah agar ‘tampak hebat’ dan dinilai paling bermoral di lingkungannya yang
jumud. Ide pencerahan tidak mereka kenal, hal baru yang tidak menyenangkan, dan
tentu saja rumit bagi otak mereka yang sederhana. Menurut Kartini, mereka
adalah orang-orang yang “tidak berpikir, mereka hanya menerima".
Kartini
memperlihatkan pada kita bahwa yang namanya keluarga seringkali tak lain tak
bukan adalah masyarakat yang menyusup ke balik tembok rumah dan memingit. Atau,
meminjam kata-kata Armijn Pane, keluarga adalah belenggu yang dipenuhi oleh
kecemasan pada “apa kata orang nanti”. Karena itu, keluarga tidaklah selalu
menjadi pendukung penuh cita-cita pembaharuan dan membuat orang seperti Kartini
dijerat dalam dilema. Kartini sangat mencintai keluarga, sangat menghormati
ayah dan ibu-ibunya, sehingga betapapun kemarahannya meletup-letup, protes yang
dia lakukan tetap dengan bahasa kromo, tetap dengan sembah yang dihaturkan
sebelum bicara. Maka, tak heran bila Kartini mencurahkan segala harap dan
dukungan terhadap “pikiran-pikiran gilanya” itu bukan kepada ibu kandungnya,
apalagi pada ibu tirinya, tapi kepada Rossa Abendanon yang disebutnya sebagai
“ibu jiwa”. Apa boleh buat, meminjam istilah zaman sekarang, keluarga Kartini
mungkin bukanlah keluarga sakinah mawaddah wa rohmah.
***
Membaca
narasi diri Kartini melalui kata-katanya yang terkadang tajam terkadang pilu
itu, saya mendapati citra Kartini yang sama sekali lain dengan yang saya alami
ketika sekolah di zaman Orde Baru. Alangkah ajaibnya ketika kritik pedas dan
kemarahan Kartini yang membara terhadap feodalisme bangsanya dan pemerintah
(Belanda) tiba-tiba berubah menjadi sebuah pertunjukan kebaya belaka, sebuah
tafsir yang kekanak-kanakan atas pikiran Kartini.
Cita-citanya yang menginginkan “perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya”, tiba-tiba dirayakan dengan lomba memasak nasi goreng, lomba memakai make up sambil ditutup mata, dan lomba-lomba kenes yang nggak jelas.Dan, lebih ajaib lagi ketika masyarakat Orde Baru punya anggapan bahwa emansipasi artinya adalah boleh kerja asal tidak menyalahi kodrat. Aneh, karena bagi masyarakat Kartini waktu itu, perempuan bekerja saja artinya sudah menyalahi kodrat. Yang tidak kalah ajaib adalah ketika saya diajari melalui lagu yang dinyanyikan terus-menerus bahwa Kartini adalah seorang putri sejati, yang mulia, yang harum namanya. Kartini tiba-tiba menjadi legenda, menjadi mitos, menjadi lambang-azimat yang melenyapkan segala pemikiran dan mimpi hidup Kartini itu sendiri. Tidak heran jika tradisi yang dulu digempur Kartini, kini justru diadopsi oleh banyak mahasiswi. Karenanya, jangan heran kalo banyak perempuan sudah bisa bekerja, namun tak jauh dari memikirkan kepentingan pribadi semata. Yang penting lulus kuliah (kuliah dengan subsidi negara, sebagiannya berasal dari pajak mereka-mereka yang tak bisa kuliah), cari kerja (yang bergengsi tentu saja!), dan berumah tangga (dengan suami tajir, kalo bisa!), bukan memberikan dirinya pada masyarakat luas dan bekerja untuk kebaikan sesama seperti yang dicita-citakan Kartini.
Btw, masyarakat? Emangnye gue pikirin!
Maka,
kisah Kartini—yang walaupun meninggal sebagai Raden Ayu (menikah), namun
ditenarkan sebagai Raden Ajeng (lajang)—bukan saja sebuah epik tapi juga
tragedi, demikian ujar Goenawan Mohamad. Sebab, "apa yang menyebabkan adik
saya menyerah, telah menyebabkan juga saya tak berdaya. Nasihat dokter masih
tetap berlaku; emosi (Bapak) harus dicegah…. Saya tidak mau menjadi penentu
nasib buruk Bapak dan dengan demikian mendatangkan bencana bagi semua orang
yang saya sayangi…. Tak usah saya bercerita kepada Anda betapa berat bagi saya
bertindak melawan perasaan saya yang paling dalam, melawan keyakinan saya
sendiri yang paling suci,” demikian ratapan Kartini kepada ibu jiwanya, Rossa
Abendanon, menjelang pernikahan poligaminya dengan seorang duda beristri tiga
beranak enam: Raden Adipati Djojo Adiningrat, G.M., G.S., Bupati Rembang yang
sudah “mengincarnya” sejak lama, sejak istri utamanya masih hidup, karena
tertarik pada ide pembaharuan yang dimiliki Kartini.
Namun
demikian, pernikahannya dengan sang bupati itu memang pernikahan yang tak lazim
pada zaman itu. Saat pernikahan berlangsung, Roekmini bercerita begini: “Pada
upacara temon, Kartini tidak mencium kaki suaminya. Uah, seluruh keluarga
bergumam jengkel…. Kartini puas karena tak perlu membungkukkan badan. Suaminya
pun agak terkejut… namun karena ia sendiri seorang liberal, ia pun segera dapat
memahami maksud Kartini. Ia menyetujuinya, dan segera mengulurkan lengannya
kepada isterinya.” Pembangkangan pada tradisi (perkawinan) bukan sekali mereka
lakukan. Pernah pula pada saat Kardinah menikah, pembangkangan kembali mereka
perlihatkan. Kartini menceritakannya dalam salah satu suratnya: “Pada pertemuan
ini, ketika Kardinah melakukan acara sungkem kepada pengantin lelaki, semua
orang berlutut. Para bupati, para raden ayu, semua duduk di lantai; hanya lutut
kami berdua yang kaku, dan kami tetap berdiri seperti lilin di tengah kerumunan
laron.” Dalam hubungan dengan suaminya, Kartini menginginkan suami sebagai
sahabat.
Di antara syarat yang diajukan Kartini ketika mereka bertunangan adalah mereka harus bicara dalam bahasa ngoko, yaitu bahasa sehari-hari di rumah yang dianggap “kasar”, bukan dengan bahasa kromo sebagaimana seharusnya istri kepada suami. Toh, rupanya mereka lebih sering berbahasa Belanda, sesuatu yang lebih tak lazim.
Demikianlah
corak hubungan mereka kemudian. Dalam diri suaminya, Kartini menemukan seorang
teman yang mendukung rencana-rencananya untuk perbaikan nasib orang sebangsa.
Sementara itu, dalam diri Kartini, Raden Adipati Djojo Adiningrat menemukan
teman diskusi yang setimpal dalam memecahkan persoalan kemasyarakatan. Mereka
kemudian mendirikan sekolah gadis dan sekolah pertukangan. Mereka juga menulis
buku mengenai mitos dan legenda Jawa. Setiap kali Gubernemen mengeluarkan usul
yang bodoh, Bupati Rembang itu dengan marah masuk ke kamar Kartini (untuk
membahasnya).
Karena hubungan seperti itulah Kartini pernah menulis dengan gembira bahwa “saya tidak hanya telah belajar menghormatinya,… tetapi juga belajar mencintainya”. Cita-citalah yang menyatukan mereka.Cita-citalah yang membuat mereka saling menghormati dan mencintai. Cita-citalah yang juga disebut-sebut oleh Bupati Rembang itu ketika mengabarkan wafatnya Kartini pada keluarga Abendanon: "Raden Ayu dengan tenang menghembuskan nafas terakhir di pangkuan saya, di hadapan dokter…. Saya sungguh tergoncang dan apa yang saya rasakan tak dapat saya lukiskan dengan kata-kata…. Selama 10 bulan saya begitu bahagia dengan Almarhumah. Dalam pikiran dan cita-cita, ia merupakan penjelmaan cinta, dan pandangan-pandangannya begitu luas, sehingga di antara perempuan sebangsanya tak ada yang menyamainya.” (Walaupun begitu, satu setengah tahun kemudian dia menikah kembali dengan saudara perempuan Susuhunan Solo. Apa boleh buat, keagungan menjadi ipar seorang raja terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja.)
***
Demikianlah,
Kartini mencintai Djojo Adiningrat, tapi membenci perkawinan (poligami);
mencintai keluarga, tapi membenci feodalisme ningrat; mencintai Abendanon dan
Stella, tapi membenci kolonialisme dan rasis Eropa. Kartini mencintai manusia,
namun membenci institusi zamannya dan membayangkan institusi yang lain,
membayangkan sebuah imagined community yang belum tampak, yang bahkan menurut
tuturnya, “belum dirintis!”.
Kartini, dalam narasi kepahlawanannya—walaupun dia sama sekali tidak memaksudkan demikian—membuat kita menyadari bahwa ningrat (ketimuran) tidaklah berwajah satu, tidak selalu luhur seperti yang kita gembar-gemborkan.Demikian pula Eropa (kebaratan) tidaklah seragam, melainkan rumit. Licin. Dan, setiap saat berganti tumpang. Narasi diri Kartini juga mendengungkan bahwa what personal is political. Maka, pahlawan bukanlah orang yang mengangkat senjata dan menembak sana-sini. Pahlawan tidak pernah bercita-cita menjadi pahlawan. Pahlawan adalah seorang manusia yang beranjak. Keberanjakannya membuat dia harus menghadapi keluarga, sahabat, bangsa, dan dirinya sendiri demi angan-angan yang melampaui zamannya. Keberanjakannya membuat dia harus mengatasi kepengecutan dirinya sendiri pada manusia, seperti ucapan Kartini suatu ketika pada Moerjam, salah satu ibunya: “Mama, kami tidak dapat berbuat apa-apa kalau Mama hanya takut pada manusia.” Dengan keberanjakannya, pahlawan adalah orang-orang yang memiliki cita-cita untuk orang lain, memberikan bahasa yang hidup bagi angan-angan orang lain.

Komentar
Posting Komentar